DI tengah
sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk termenung. Sorot
matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang bermuram durja.
Tidak jauh
dari tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan
karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat sang Putri.
Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.
"Sampurasun,"
sapanya.
Sang Putri
tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya, sehingga tidak
menyadari kehadiran lelaki itu.
"Sampurasun,"
Lelaki itu mengulang sapa.
"Ra...
rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"
"Maaf
jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya
menundukkan kepalanya.
Sang Putri
tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki yang berdiri di
hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam. Namun Putri
merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis: hitam dan
pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.
"Sedari
tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa
gerangan?"
"Saya
kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada orang
lain."
"Kalau
begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap Tuan Putri
berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak
berlalu.
"Tunggu,
Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.
Lelaki itu
mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.
"Sekali
lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya
menyinggung perasaan Kisanak, apalagi menganggap rendah."
Beberapa
saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang Putri
menangis.
Lelaki itu
duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar tentang
apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa
nama Kisanak?" tanya sang Putri.
"Saya...
saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan sebutan
Ki Pande."
"Baiklah,
Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan menghilangkan
penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah ini
kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka. Tidak akan ada
seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan mata
berkaca-kaca.
"Tapi
mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"
"Saya
hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"
Ki Pande
tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati dipenuhi rasa
iba.
"Nama saya
Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.
Menurut
Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran bernama
Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis dan kejam.
Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti mandraguna. Apa pun
yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa berbantah.
"Saya
sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya," Putri
Arum mengakhiri ceritanya.
"Saya
ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya,
karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."
"Saya
mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara Pangeran
Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang
saya terima benar adanya."
"Wangsit?"
tanya Ki Pande.
"Ya.
Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini. Kelak
katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya, dan
sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir
sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin
dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah sekian
lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu ternyata
tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.
Mendengar
hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang tengah dipikirkannya.
"Oh,
tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu
saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.
"Benar,"
jawab Ki Pande.
"Itu
berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru
Putri Arum, penuh harap.
"Barangkali
itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.
"Katakan
saja, Ki," Putri Arum penasaran.
"Saya
hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."
"Apa
Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat saya
benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.
Ki Pande
sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap tenang.
"Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."
"Dengan
syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.
"Ya,
dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."
"Hal
apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti mandraguna. Laut
saja bisa dikeringkannya!"
"Yakinlah,
Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande berusaha
meyakinkan Putri Arum.
"Kalau
begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"
"Pangeran
Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian batu tersebut
harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan
tiga hari," Ki Pande menjelaskan.
"Bukankah
syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran Cunihin?"
"Tapi
tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu keramat,
setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."
"Setelah
itu"" tanya Putri Arum.
"Serahkan
semuanya kepada saya!"
Mendengar
seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki Pande kemudian
mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa karung yang berisi
alat-alat membuat gelang.
Perjalanan
menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir
setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di
atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn
Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika
minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.
Beberapa
orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas. Dan keajaiban pun
terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang berasal dari batu
cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan sebutan baru yaitu
Putri Cadasari.
Sementara
itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat gelang yang sangat
besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang tersebut akan
dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran Cunihin.
Waktu yang
ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri Cadasari dan
menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada Pangeran Cunihin.
"Hahaha,
itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat
itu?" tanya Pangeran Cunihin.
Putri
Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian
keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu,
Pangeran. Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat
menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.
"Wah,
Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.
Tak sampai
tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin berhasil menemukan
batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian dibawanya ke sebuah
pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-diam mengkuti dari
kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi, menyaksikan apa yang
dilakukan Pangeran Cunihin.
Pangeran
Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh,
Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba
tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak
dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di
tengah batu keramat itu.
"Hahaha,
aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran Cunihin
mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.
Kesempatan
itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada batu keramat
yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak bersembunyi, tapi
didengarnya sebuah bentakan keras.
"Heh
tua bangka, sedang apa kau di sini?!"
Ternyata
Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri Cadasari.
"0,
aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku pernah
mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau hanya pantas
menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas. "Lihatlah,
sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"
Putri
Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah telah
mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab, Pangeran
Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat yang
telah berlubang itu.
"Tuan
putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar
berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan
romantis," kata Pangeran Cunihin.
Putri
Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan kegembiraan, w alau
di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya menjadi pendamping
Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.
"Apa
karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini telah
berlubang?" kata Putri Cadasan.
"Hm,
baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini untuk
membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.
Tanpa
berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati lubang batu
keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit luar
biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu
seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri.
Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah
telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi
seorang pemuda tampan.
"Bagaimana
semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti menyaksikan
keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya
ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi
setelah mendapat kesaktian dari guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian
saya, lalu menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian
mencari kesaktian untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang
bisa mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati
gelang-gelang buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah
Pangeran Cunihin yang terkulai tak berdaya.
"Kini
saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri. Untuk
itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang,
menggenggam tangan Putri Cadasari.
"Ah,
sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit yang saya
terima itu memang benar."
Akhirnya, keduanya
meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa waktu kemudian mereka pun
menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.
Tempat
mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan kampung Kramatwatu, dan
batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal dengan nama Karang Bolong.
Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di bukit manggis, kini orang
mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam bahasa Sunda berarti
Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri disembuhkan dari
sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang, tempat Pangeran
Pande Gelang membuat gelang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar