Zaman dahulu kala ada sebuah kampung
yang sangat aman dan damai di daerah Aceh. Di sana tidak pernah terjadi pencurian maupun
perampokan. Masyarakatnya pun tidak pernah saling bertengkar. Kalau ada
masalah, mereka langsung menyelesaikannya secara musyawarah sehingga suasana di
sana hidup
penuh rukun dan saling tolong menolong.
Di kampung itu, hiduplah seorang ibu
dengan anaknya yang masih berusia sepuluh tahun. Si ibu dan anak itu
sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan yang kemudian kayu itu dijual ke
pasar. Dari hasil itu, mereka bisa membeli kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari, kampung yang aman itu
dikejutkan oleh hilangnya kerbau Mak Yah. Semua masyarakat mencarinya, tapi tak
seorang pun yang menemukannya. Kerbau itu hilang bagaikan ditelan rimba. Hal
ini tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga membuat masyarakat bertanya-tanya
siapa yang mencuri kerbau itu. Keesokan harinya, tiga ekor kambing Bang Ma’e
ikut hilang di tempat pengembalaannya. Di sana
yang tinggal hanyalah tulang belulang dan percikan darah di mana-mana. Kejadian
ini membuat warga semakin penasaran. Dalam hati mereka bertanya, “Sebenarnya
siapa yang telah merusak kedamaian di kampung ini?”
Hari-hari berikutnya, makin banyak warga
yang kehilangan binatang ternaknya. Bahkan, salah satu anak Wak Minah juga
telah hilang ketika dia bermain hingga membuat wak itu terus menangis sepanjang
hari. Masyarakat menebak bahwa yang memakan ternak mereka dan mencuri anak Wak
Minah adalah geugasi (raksasa) yang tinggal di hutan sana. Karena tapak-tapak yang tertinggal di
daerah itu sangatlah besar.
Masyarakat
di kampung itu pun mulai resah. Ketakutan mulai melanda di hati mereka. Mereka
pun tidak berani lagi keluar rumah. Ahmad yang tidak tahan dengan keadaan itu
memberanikan diri untuk mencari sang pembuat onar.
Keesokan
harinya, dia berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke hutan, tetapi sang ibu
melarangnya. “Jangan Ahmad, nanti kamu
dimakan geugasi,” ucap ibunya gusar.
“Tidak Bu, aku akan menjaga diriku
baik-baik. Ibu berdoa saja agar aku selamat.”
Akhirnya
ibunya hanya bisa mengangguk pasrah menerima permintaan Ahmad, anaknya yang
keras kepala. Kemudian pergilah Ahmad ke hutan seorang diri. Dia hanya membawa
bekal makanan dan satu pisau yang diselip di pinggangnya. Ahmad terus berjalan
hingga dia sendiri tidak tahu lagi sudah sejauh mana dia berjalan. Keringat
mulai membasahi tubuhnya, dia pun beristirahat sebentar di bawah pohon. Dari
kejauhan, tampaklah sebuah rumah panggung dan semangat Ahmad muncul kembali.
Dia menuju rumah itu.
Rumah
panggung itu tidak begitu besar dan juga tidak terlalu kecil. Ahmad
mengetuk-ngetuk pintu rumah itu, tapi tidak ada sahutan. Dia pun masuk. Di
dalam rumah itu terdapat bermacam kepala binatang dan tulang-belulang yang
dijadikan sebagai pajangan. Berbagai jenis tombak dan parang terletak di sudut
rumah itu begitu juga dengan barang-barang lainnya.
Ahmad terkejut mendengar suara rintihan
minta tolong yang tiba-tiba itu. Dia pun mencari sumber suara itu dan
menemukannnya di salah satu kamar di rumah itu. Ternyata itu adalah suara anak
perempuan Wak Minah yang hilang. Anak itu meringkuk di sudut sambil menangis
tersedu-sedu. Tahulah Ahmad sekarang kalau itu adalah rumah geugasi yang dia
cari. Dia pun menenangkan anak wak Minah dan berjanji akan memulangkannya pada
ibunya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara
orang yang berjalan dengan begitu keras. Rasa-rasanya bumi bergoyang ketika
tapak-tapak itu menghantam tanah. “Itu pastilah geugasi,” pikir Ahmad. Dia pun memikirkan
ide agar mereka selamat.
Geugasi
yang baru saja mencari makanan akhirnya tiba di halaman rumahnya. Lalu dia
berhenti dan hidungnya naik-turun berkali-kali. “Aku mencium bau manusia….”
ucapnya dengan begitu keras. Tiba-tiba terdengar suara-suara tapak yang begitu
keras di dalam rumah. Kening geugasi itu berkerut.
“Siapa di
dalam?” tanyanya penasaran.
“Geugasa,”
jawab Ahmad dengan suara yang keras sambil meloncat-loncat di lantai.
Geugasi
berpikir bahwa geugasa itu juga sejenis raksasa. Dia pun bertanya lagi, “Coba
kulihat gigimu!”
Ahmad
melempar buah pinang. Si geugasi terkejut melihat gigi geugasa lebih besar dari
giginya. Dia pun melanjutkan pertanyaannya, “Coba kulihat kumismu!”
Ahmad
mengambil satu gumpalan bulu ijuk yang lebat dan melemparnya keluar. Si geugasi
lagi-lagi terkejut melihat kumis geugasa yang begitu lebat itu. Dia memegang
kumisnya yang hanya setengah dari gumpalan kumis si geugasa itu. Dia pun bertanya lagi, “Coba kulihat tahimu!”
Ahmad pun melempar buah kelapa yang
besar dan tua. Si gugasi sangat terkejut melihat tahi geugasa yang begitu besar itu. Dia
berpikir, kalau gigi dan tahinya sebesar itu dan kumisnya selebat itu,
bagaimanakah besarnya geugasa itu. “Oh, pastilah dia amat sangat besar….
Pastilah aku mati kalau berhadapan dengannya,” ucap geugasi pada dirinya
sendiri.
“Aku
sangaat lapaarrr…. apakah ada makanan disini?” ucap Ahmad dengan suara yang
dikeras-keraskan.
Mendengar itu, badan geugasi langsung
gemetar, keringat dingin mulai keluar, dan mukanya menjadi tegang. Jelas sekali
dia ketakutan. “Aaarrrgghhhhh…… kenapa tidak ada apa-apa di sini? Lebih baik aku keluar
saja. Pasti ada makanan di sana.”
Tubuh
geugasi makin bergetar hebat karena mendengar ucapan geugasa. Tanpa menunggu
waktu lagi, dia berbalik arah hendak melarikan diri, tapi Ahmad dengan cekatan
mengambil tombak dan melemparnya ke arah geugasi. Tombak itu menancap mulus di
punggung geugasi hingga tembus ke perutnya. Dia mengerang begitu keras. Ahmad
pun mengambil tombak satu lagi dan melemparnya lagi hingga menancap di kepala
geugasi yang berambut lebat dan panjang. Geugasi itu pun tersungkur di tanah.
Dia mati.
Ahmad dan
anak wak Minah turun dan melihat geugasi yang sudah tak bernyawa itu. Lalu
mereka pulang dan setiba di sana mereka mengabarkan pada seluruh warga di
kampung bahwa mereka telah membunuh geugasi. Semua orang sangat senang, apalagi
Wak Minah dan ibu si Ahmad karena melihat anaknya kembali dengan selamat. Akhirnya kampung itu kembali aman dan damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar